Aku menyesal menikah dengannya

aku-mencintaimu“Aku menyesal menikah dengannya!” Wanita di hadapanku ini mengagetkanku dengan perkataanya. Aku melihat kekecewaan dari raut wajahnya yang ayu namun aku sungguh tak tahu sedemikian dalamnyakah luka hatinya itu?.
Ina  adalah sahabatku sedari SMA aku cukup mengenal baik dirinya. Ia seorang wanita yang baik hatinya, ceria dan setia. Saat ini ia telah menikah dan memiliki sepasang anak kembar yang lucu dan menggemaskan berusia balita. Ia menikah dengan seorang lelaki yang telah ia pacari dari SMA yang berjalan kurang lebih 5 tahun sebelum akhirnya resmi menikah.

Aku dan Ina memang jarang bertemu hanya lebih sering berbagi cerita lewat WA maupun sosial media. Karena kami sama-sama ibu rumah tangga bisa dibilang cukup intens berselancar di dunia maya. Dan dari status-statusnyalah aku tahu bahwa rumah tangga yang telah ia bina sekitar 3 tahunan itu tidak cukup membuatnya bahagia. Ina sering mengungkapkan kemarahannya, ketidakberdayaannya, kesedihannya, dan segala macam yang ia rasakan dalam rumah tangga di FB walaupun begitu ia juga sering mengunggah foto-foto kebersamaannya dengan suami dan anak-anaknya.

Aku prihatin dengan hal semacam itu karena bukan saja seorang Ina yang dengan mudahnya mengumbar rumah tangganya di jejaring sosial tapi juga wanita-wanita lainnya. Padahal persoalan rumah tangga dan segala aktivitas di dalamnya sudah seharusnya tidak berada di ranah publik cukup menjadi privasi masing-masing.

Pada kesempatan kali ini Ina memintaku meminjamkan bahu untuk ia bersadar karena ia merasa cukup lelah dengan kehidupan yang ia jalani. Ina mendekap erat tubuhku cukup lama dan aku memberikannya waktu sampai akhirnya ia sendiri yang melepaskan pelukannya.

“Sifa, aku merasa telah salah melangkah dengan menikah dengannya,” Ina kembali memulai pembicaraan. Sebenarnya aku tidak berani bertanya kepadanya ‘ada apa?’ tapi pada akhirnya itu yang aku ucapkan.

“Aku sudah bersamanya hampir 9 tahun, kamu tahu kan perjalanan cintaku saat SMA bersamanya sampai akhirnya aku mau menikah dengannya. Aku kira waktu pacaran yang kami jalani dengan cukup lama itu sudah membuatku mengenal dirinya luar dan dalam tapi nyatanya ia baru menunjukan sifatnya aslinya pada saat kami berumah tangga.” Aku menyimak dengan sangat serius setiap perkataan Ina sambil kembali sesekali mengingat masa dimana aku menjadi saksi kemesraan Ina dan Dio nama suaminya saat mereka masih pacaran. Mereka tidak seperti pasangan lainnya yang sering putus nyambung bahkan mereka sering menyombongkan hubungan mereka dengan mengatakan apa yang mereka lakukan (pacaran) adalah hubungan yang sehat.

“Suamiku itu adalah seorang pemalas yang kerjanya sehari-hari hanya keluyuran dengan teman-temannya alasannya sih mencari kerja tapi sampai terakhir kali ia bekerja di perusahaan swasta 2 tahun lalu ia tak juga mendapatkan pekerjaan yang cocok menurutnya.”

“Terus bagaimana kalian membiaya kehidupan rumah tangga kalian?”

“Sebenarnya aku malu mengatakannya tapi sampai saat ini kami masih mendapatkan subsidi dari kedua orang tua kami dan untuk melengkapi kekurangannya aku membuka warung kelontong di rumah”

“Aku tahu dari awal kalau suamiku itu anak yang sangat dimanja oleh orangtuanya, ibu mertuaku tidak pernah sekalipun memarahi anaknya itu dengan alasan khawatir anaknya itu akan menjadi anak durhaka. Aku malah yang dituntut oleh ibu mertuaku untuk dapat mengatur suamiku, ah aku sudah teramat sering bertengkar dengannya dari hal yang dikatakan sepele seperti menaruh handuk di tempatnya sampai memintanya dengan berlinangan air mata untuk tidak begadang semalaman di luar rumah. Tapi apa? sampai kami dikaruniai anak-anak pun dia sama sekali tidak berubah, masih saja bertingkah seperti bujang.”

“Aku benar-benar menyesal menikah dengannya!” lagi-lagi kata-kata itu keluar dari mulutnya, kali ini dengan berurai air mata.

“Ina, aku tidak tahu pasti harus mengatakan apa kepadamu. Aku khawatir kalau ada kata-kataku nanti yang salah dan malah memperkeruh kehidupan rumah tanggamu. Aku sangat prihatin dengan kondisi rumah tanggamu terutama dengan si kembar, kasian mereka!, tapi aku ingin sekali membantumu paling tidak kita saling menguatkan karena setiap kita pasti memiliki masalah terutama dalam berumah tangga. Dulu sebelum kita menikah kita sering berbagi mimpi bukan? tentang rumah tangga yang seperti dongeng cinderella di akhir ceritanya bahagia selama-lamanya dan kita sudah berada di dalam cerita itu hanya saja ternyata tak seindah dongeng itu.” Aku melanjutkan,

“Kata-kata menyesal menikah dengannya seharusnya tidak pernah terucap bahkan terbesit sedikit pun di pikiran kita karena menikah bukanlah sebuah kesalahan, itu pilihan yang kita pilih dan memang sudah menjadi takdir yang harus kita jalani. Dengan menyesal kita tidak dapat mungkin kembali merubah keputusan itu dan dengan menyesal akan sulit bagi kita untuk meluruskan kembali jalan yang mungkin saja salah itu dan mencari jalan keluar yang terbaik.”

“Ina, aku tidak tahu pasti apa yang akan kamu lakukan setelah kamu mengatakan ‘menyesal menikah dengannya’ yang jelas apapun yang kamu lakukan ingatlah kedua buah hatimu, kita sama-sama seorang ibu tentu akan berusaha memberikan yang terbaik untuk anak-anak kita sekalipun nyawa taruhannya karena hidup kita bukan hanya untuk diri kita lagi tapi untuk anak-anak kita, untuk masa depan mereka. Aku tahu pasti bahwa kamu adalah seorang wanita yang kuat dan tegar dan untuk menemukan kebahagiaan yang kamu rasa saat ini mulai redup dalam kehidupanmu tidaklah sama sekali sulit bagimu karena sumber cahaya itu ada di dalam hatimu dan terangilah anak-anakmu dengan cahaya kebahagiaan yang kamu miliki itu hingga mereka bisa bersinar terang. Dan untuk suamimu yang sudah membuat ruang gelap disisi kehidupanmu itu berdoalah agar Allah memberikan hidayah dan inayah kepadanya agar kalian bisa sama-sama kembali menuju cahaya di atas cahaya yaitu keberkahan dalam berumah tangga, ridho Allah SWT.”

            Ina menangis sejadi-jadinya lalu kuberikan pundakku untuk ia menyandarkan keluh kesahnya dan kesedihannya selama ini. Di sudut mataku air mata telah menggenang dan tanpa mampu aku tahan mengalir juga. Aku merasakan kesedihan yang luar biasa dalam diri wanita ini dan beban hidup yang harus diterimanya.

Aku yakin masih banyak Ina- Ina lain diluar sana yang sedang kesulitan menemukan pundak untuk tempat ia berbagi cerita dibandingan menyebar status-status di jejaring sosial yang hanya akan direspon biasa oleh khalayak penguhuninya atau sebagian nyi-nyir menghujat. Ina, siapa pun kalian di luar sana berbagi ceritalah pada orang-orang yang dapat kalian percaya untuk dapat saling menguatkan, kalau bisa janganlah mudah mengumbar drama rumah tangga kalian di jejaring sosial karena selain dampak sosial yang akan kita rasakan keluh kesah kita tak akan berbalas menjadi kebaikan, itu hanya akan menjadi noda yang akan mengotori wajah kita.

“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”(An-Nur: 19)

Mungkin bagi sebagian kita ada yang merasa telah lega atau tenang ketika telah mengungkapkan apa yang ia rasakan dan pikiran ke dalam sebuah tulisan-tulisan di dinding facebook dan jejaring sosial lainnya akan tetapi kita harus menyadari bahwasannya apa yang kita lakukan itu tidaklah akan berdampak baik bagi orang lain malah sebaliknya akan menjadi bumerang bagi kita, itu sama saja kita telah membuka aib diri kita, keluarga kita ataupun seseorang yang kita sebutkan disana seperti; suami. Tahanlah diri kita untuk tidak membicarakan diri kita sendiri diruang publik terlebih itu sebuah letupan emosi seperti ; perasaan marah, keluh-kesah, menyindir dan lain sebagianya. Janganlah mempermalukan diri kita sendiri.

 

Tinggalkan Komentar